Rabu, 30 Oktober 2019

TOKOH KUNCI ILMU TENAGA DALAM POPULER




TOKOH KUNCI ILMU TENAGA DALAM POPULER


Secara umum para praktisi ilmu bela diri tenaga dalam di Indonesia khususnya di pulau Jawa spakat bahwa ilmu bela diri tenaga dalam   dipopulerkan oleh Nampon yang nama aslinya adalah Mahmud. 
Nampon yang berasal dari kata Nam Fu karena keahliannya dalam bela diri kaifeng yang dipelajarinya dari ahli kung fu China Peranakan Semarang yang bernama Tjoa Nam Fu pada tahun 1920.
Kepopuleran ilmu tenaga dalam dipicu karena sikap nyeleneh Nampon saat menyambut kelahiran anaknya di Stasiun Padalarang pada tahun 1932. Saat itu beliau menantang siapa saja yang berani menangkapnya. Namun setiap warga yang menyentuh tubuhnya terpelanting.

Peristiwa ini memicu banyaknya jawara betawi dan banten untuk adu tandeng melawan nampon. Banyaknya jawara yang kalah tanding berguru kepada Nampon, sehingga nama Nampon semakin pepoler, diantara nama-nama jawara tersebut adalah Setia Muchlis dan KM Tamim yang kemudian mendirikan perguruan TRI RASA di Bandung.

Sejak itu berbagai perguruan silat tenaga dalam berkembang pesat diantaranya Margaluyu, Budi Suci, Ragajati, JSP (jurus seni penyadar) dan beberapa aliran lain tanpa nama. Bahkan dari perguruan yang muncul ini menjamur hingga saat ini menjadi berbagai perguruan baru dengan nama dan bendera yang berbeda.

Dalam pengamalan ilmu tenaga dalamnya, Nampon beserta perguruan-perguruan ilmu tenaga dalam yang bersumber darinya, tidak terlepas dari 3 nama tokoh yang namanya selalu disebut-sebut dalam amalan wiridnya. Yaitu; Subandari, Madi dan Kari. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tenaga dalam atau kebatinan Nampon berasal dari ketiga tokoh tersebut.


Merujuk dari berbagai catatan, dapat  disimpulkan bahwa hubungan Nampon dengan ketiga tokoh tersebut  terkait dengan perguruan silat Cikalong yang merupakan pengembangan dari silat Cimande yang dibawa oleh  Abah Khoir yang diakui sebagai pencipta silat Cimande. Keberadaan Abah Khoir di Cikalong disebabkan karena Aria Cikalong yang membawa Abah Khoir ke Cikalong untuk belajar dan mengembangkan Silat Cimande di daerahnya.

Selain belajar dengan Abah Khoir, Nampon juga belajar dengan Abang Madi, Abang Kari dan Eyang Sahbandar.   Dengan demikian Nampon merupakan generasi kedua atau seterusnya setelah Raden Ibrahim Jayaperbata karena keberadaan Bang Madi dan Bang Kari di Cikalong tidak terlepas dari Peranan Raden Ibrahim Jayaperbata pendiri Perguruan Silat Cikalong.

Bang Madi

Bang Madi adalah seorang adalah seorang pedagang kuda eropa yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat. Salah satu keahlian Bang Madi adalah menundukkan kuda-kuda liar. Beliau merupakan guru ketiga bagi Raden Ibrahim Jayaperbata setelah belajar dari Raden Ateng Alimudin dan Bang Ra’uf.

Pertemuan Bang Madi dengan Rd. H. Ibrahim diawali ketika Rd. H. Ibrahim membeli seekor kuda Eropa yang sangat besar, liar dan membutuhkan penggantian tapal kuda yang baru. Akhirnya Rd. H. Ibrahim membawanya ke Bang Madi yang memang ahli menangani kuda liar. Bang Madi menyanggupi ketika Rd. H. Ibrahim datang dan memintanya mengganti tapal kuda, dengan tenang dia mengganti tapal kuda. Tiba-tiba ketika membuka tapal yang lama, kuda itu menendang sehingga membahayakan jiwa Bang Madi. Bang Madi dengan refleks dan rileksnya menangkis yang mengakibatkan kaki kuda itu patah.

Kejadian tersebut membuat Raden Ibrahim kagum dan penasaran. Dia tidak menyangka sama sekali dengan perawakan yang kecil dan terlihat lemah Bang Madi bisa melakukan sesuatu yang dia sendiri tidak yakin bisa melakukannya.

Konsep jurus pukulan Bang Madi adalah melumpuhkan lawan dengan cepat. Yang kemudian hari dikenal dengan istilah suliwa dan sanalika.
Madi mengandalkan tenaga lawan untuk melumpuhkan lawan dalam tempo yang cepat. Tangkisan atau pukulanya bisa mematahkan tulang lawan.
Dan akhirnya Raden Ibrahim memohon untuk menjadi murid Dan Bang Madi pun bersedia menjadi Gurunya.
Agar lebih leluasa, Bang Madi langsung didatangkan ke Cianjur untuk mengajar di sana. Segala keperluan hidup untuk keluarganya ditanggung oleh R.H. Ibrahim.

Dari Bang Madi, Raden Ibrahim Jayaperbata memperoleh ilmu permainan rasa, yaitu sensitivitas atau kepekaan rasa yang positif sehingga pada tingkat tertentu akan mampu membaca segala gerak lawan saat anggota badan bersentuhan dengan anggota badan lawan, serta segera melumpukannya. Menurut beberapa tokoh, salah satu ciri atau kebiasaan dari Bang Madi adalah mahir dalam melakukan teknik “bendung” atau menahan munculnya tenaga lawan, di samping “mendahului tenaga dengan tenaga”. Di kalangan aliran Cikalong teknik ini disebut “puhu tanaga” atau “puhu gerak”.

Bang Kari
Pertemuan dengan Bang Kari bermula setelah Raden Ibrahim dianggap sudah mewarisi seluruh ilmu Bang Madi, Bang Madi mengutus Raden Ibrahim untuk menemui Bang Kari dan berguru kepadanya.
Bang Kari adalah sahabat dekat Bang Madi, dan mereka berdua memiliki kemampuan yang dianggap setara. Kalau dianggap memiliki kemampuan yang setara, lalu kenapa Rd. H. Ibrahim disarankan untuk berguru ke Bang Kari.
Hal ini dikarenakan karena Bang Kari dan Bang Madi memiliki “gaya” maenpo yang berbeda. Kalau Bang Madi yang terkenal dengan Maenpo Ulin Tapel (Tempelan) dan Maenpo Ulin Tangtung, maka Bang Kari terkenal dengan Maenpo Peupeuhan yaitu ilmu pukulan yang mengandalkan kecepatan gerak dan tenaga ledak.
Bang Kari saat itu tinggal di Kampung Benteng Tangerang. (Sejak abad XIV Kampung Benteng sudah dikenal sebagai “China Town”, lalu apakah Bang Kari mewarisi suatu aliran Kung Fu? Tak ada keterangan tentang itu. Hanya yang pasti beliau memang tinggal di Kampung Benteng, dan pertukaran ilmu sangat mungkin terjadi).
Dalam usia yang cukup matang, yaitu sekitar 40 tahun, Rd. H. Ibrahim dianggap mewarisi Maenpo-nya Bang Kari.

Eyang Sahbandar
Eyang Sahbandar adalah seorang pengembara dari Kerajaan Pagaruyuang, Sumatera Barat. Beliau dibawa ke Wanayasa tepatnya di desa karang tengah Cianjur, oleh sahabatnya Raden Jibja yang juga seorang pendekar. Disana beliau bertemu dengan Raden Haji Enoh seorang tuan tanah yang tak lain adalah Orang Tua dari Raden Jibja, yang kemudian hari menjadi murid dan mertua Eyang Subandar. Raden Haji Enoh sendiri juga merupakan murid sekaligus sanak kerabat dari Raden Ibrahim Jayaperbata.
Disana beliau ditugaskan untuk menjaga danau dan kebun kelapa milik Raden Haji Enoh. saat menjalankan tugasnya inilah terjadi lagi pertarungan berkali-kali antara pemuda minang ini melawan gerombolan perompak dan pengacau, yang selalu berakhir dengan tewasnya para perompak tersebut.
Kejadian demi kejadian ini lah yang  menggerakkan hati Raden Haji Enoh untuk meminta Eyang Sahbandar mempelajarinya dan sanak kerabatnya silat minang. Sehingga nama eyang sahbandar menjadi semakin termasyur dan menarik hati Bang Madi dan Bang Kari untuk bersilaturrahmi. Dari hasil silaturrahmi tersebut terjadilah percampuran ilmu silat Sahbandar yang merupakan cikal bakal ilmu tenaga dalam silat cikalong pada kedua dan seterusnya. Ilmu tenaga dalam juga terus menjamur baik dalam bentuk perguruan waupun perorangan serta berbagai perguruan silat tenaga dalam atau kebathinan di nusantara dengan berbagai bentuk aliran dan nama perguruan.
Diantara perguruan tersebut antara lain Margaluyu, aliran silat Cikaret, Sanalika, Silat Sabandar Kari Madi, Paguron Pusaka Cikalong (PPC) Cianjur, Paguron Pusaka Siliwangi, dan hampir semua perguruan pencak silat di jawa barat.
Nampon adalah salah satu bentuk pengembangan yang dilakukan secara pribadi. Namun sebagian murid-nampon dan seterusnya membentuk berbagai perguruan baru yang diwarnai oleh keilmuan nampon yang bersumber dari Sahbandar,Kari dan Madi. Perguruan tersebut antara lain Trirasa di Bandung, Ragajati di Banyumas, Jurus Seni Penyadar di Tegal, Budi Suci di Indramayu, serta berbagai perguruan lain di Pulau Jawa dan Sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar